Ketika Alam Menangis: Refleksi atas Kerusakan di Darat dan Laut

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)
Ayat ini seakan menggambarkan realitas yang kita saksikan hari ini. Hutan-hutan yang dulu hijau, kini mengering. Sungai-sungai yang jernih, berubah menjadi lumpur. Banjir dan erosi datang silih berganti, seolah menjadi tamu tak diundang yang terus menghantui. Di balik semua ini, ada satu kata yang patut kita renungkan: manusia.
Kita mungkin pernah mendengar suara gergaji yang tak pernah berhenti, menggerus pepohonan satu per satu. Atau melihat tanah-tanah subur berubah menjadi gersang, kehilangan kehidupan. Semua dilakukan demi kantong pribadi, tanpa memedulikan rezeki generasi nanti. Kita seolah lupa, bahwa alam bukan warisan yang bisa kita habiskan, melainkan titipan yang harus kita jaga untuk anak cucu.
Allah SWT telah mengingatkan kita bahwa kerusakan di muka bumi ini tidak lain adalah akibat dari perbuatan manusia. Ketika kita mengabaikan keseimbangan alam, Allah membiarkan kita merasakan sebagian dari akibat perbuatan kita. Bencana alam yang datang silih berganti bukanlah bentuk hukuman semata, melainkan peringatan dan ajakan untuk kembali kepada jalan-Nya.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Pertama, bertaubat dan memperbaiki diri. Taubat bukan hanya sekadar menyesali kesalahan, tetapi juga berkomitmen untuk tidak mengulanginya. Kita harus menyadari bahwa merusak alam sama saja dengan mengingkari amanah yang Allah berikan.
Kedua, mengembalikan keseimbangan alam. Islam mengajarkan konsep rahmatan lil ‘alamin—menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Menanam pohon, mengurangi sampah, dan menggunakan sumber daya secara bijak adalah bentuk nyata dari syukur kita kepada Allah.
Ketiga, memperkuat kebijakan yang berkelanjutan. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi membuat kebijakan yang memprioritaskan kelestarian lingkungan. Eksploitasi hutan dan laut harus dihentikan, digantikan dengan pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Keempat, menyadari bahwa alam adalah ayat-ayat Allah. Setiap daun yang berguguran, setiap sungai yang mengalir, adalah tanda kebesaran-Nya. Jika kita merusaknya, maka kita telah mengabaikan pesan-pesan ilahi yang tersebar di sekeliling kita.
Mari kita renungkan sekali lagi: bencana alam yang terjadi adalah cermin dari keserakahan kita. Namun, di balik semua itu, Allah masih memberikan kesempatan untuk kembali. Seperti seorang ibu yang memperingatkan anaknya, alam pun berbisik: “Jagalah aku, sebelum aku tak lagi mampu memberimu kehidupan.”
Semoga kita termasuk orang-orang yang mendengar bisikan itu, lalu segera berbenah. Karena hanya dengan kembali kepada jalan-Nya, kita bisa meraih keberkahan hidup, di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Loading

Related posts

Leave a Comment