KKN Satu Bulan di Tengah Kota, Saat Pengabdian Mahasiswa Kehilangan Makna

Bandar Lampung (ISN)- Sebagai lembaga pendidikan tinggi, perguruan tinggi diamanahkan bukan hanya untuk mencetak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga untuk membentuk manusia yang peka terhadap realitas sosial dan mampu berkontribusi langsung bagi masyarakat. Dalam bingkai itulah Tridharma Perguruan Tinggi lahir yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dan dari pengabdian itulah kemudian lahir satu program monumental bernama Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Sayangnya, semangat luhur ini kini mulai kehilangan ruhnya. Di Lampung, khususnya di Universitas Lampung (Unila) dan UIN Raden Intan Lampung (UIN RIL), pelaksanaan KKN seolah hanya menjadi simbol administratif, bukan lagi bentuk nyata dari pengabdian mahasiswa. Kegiatan yang dahulu begitu sakral, kini menyusut menjadi program satu bulan, bahkan seringkali dilaksanakan di tengah kota atau kelurahan yang sudah sangat mapan secara infrastruktur dan akses informasi.

KKN, Dari Sejarah Pengabdian, Menuju Rutinitas Birokratik

Kita layak mengingat kembali sejarah panjang KKN. Dimulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1951, program ini awalnya bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Sebanyak 1.218 mahasiswa diberangkatkan ke luar Pulau Jawa untuk mengajar dan mendirikan sekolah menengah atas (SMA) di daerah yang kekurangan tenaga pendidik.

Ini bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan sebuah misi kemanusiaan dan nasionalisme. Para mahasiswa hidup berdampingan dengan masyarakat desa, mengenal denyut persoalan rakyat secara langsung, dan belajar menakar solusi dari keterbatasan yang ada. Mereka tidak sekadar datang dan pergi, tetapi menciptakan dampak yang tertinggal.

Pada tahun 1971, KKN diresmikan sebagai program intrakurikuler oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, dan sejak 1972 menjadi program nasional yang dijalankan di 13 universitas, termasuk Universitas Lampung. Kala itu, mahasiswa diwajibkan tinggal minimal tiga bulan di desa, bukan kelurahan apalagi perkotaan.

Realitas KKN di Lampung, Pengabdian Tanpa Sentuhan Masyarakat

Kontras dengan semangat historis tersebut, pelaksanaan KKN di Lampung hari ini tampak menjauh dari esensi awalnya. Baik di Unila maupun UIN RIL, durasi pelaksanaan hanya satu bulan. Lebih mengejutkan lagi, lokasi penempatan mahasiswa tidak lagi berada di desa terpencil yang memerlukan pemberdayaan, tetapi di tengah kota, bahkan di kelurahan-kelurahan yang sudah lengkap dengan fasilitas.

Alih-alih menginspirasi perubahan sosial, mahasiswa justru menjadi pelengkap kegiatan rutin di kantor kelurahan. Beberapa bahkan sekadar membantu mendata warga atau mengarsipkan dokumen, tanpa ada program tematik berbasis riset atau intervensi sosial.

Jika demikian, maka pertanyaannya sederhana, di mana letak “pengabdian” dalam program ini?

Mengapa Satu Bulan Tak Cukup?

Dari aspek waktu, satu bulan adalah durasi yang sangat terbatas untuk membangun relasi sosial, mengenali akar masalah, merancang program, dan mengevaluasi hasil. Bahkan untuk beradaptasi pun, mahasiswa nyaris tak sempat.

Program-program tematik yang membutuhkan pemetaan sosial dan pelibatan komunitas, otomatis terpangkas. Tak heran jika KKN kini cenderung berujung pada laporan formalitas ketimbang capaian yang menyentuh kebutuhan riil warga.

KKN yang hanya berlangsung satu bulan di kelurahan juga berisiko membentuk pola pikir mahasiswa yang pragmatis, bahwa tugas sosial bisa dituntaskan dengan cepat, tanpa pendekatan partisipatif dan keberlanjutan.

Kampus Harus Berani Berbenah

Unila dan UIN RIL sebagai dua institusi besar di Lampung semestinya menjadi garda depan dalam menjaga kualitas KKN. Alih-alih memudahkan pelaksanaan demi efisiensi anggaran atau waktu akademik, kampus seharusnya kembali pada semangat awal KKN membangun kepedulian dan karakter mahasiswa di tengah masyarakat.

Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap desain KKN saat ini. Apakah KKN masih relevan disebut sebagai pengabdian jika pelaksanaannya begitu singkat dan tidak menyentuh persoalan dasar masyarakat?

Apakah penempatan di kelurahan mampu memberikan tantangan sosial dan kultural yang cukup bagi mahasiswa untuk berkembang?

Jika jawabannya tidak, maka kampus telah mengkhianati mandat Tridharma.

Dari sini, Antara Tanggung Jawab Sosial dan Sekadar Laporan

KKN semestinya menjadi jembatan antara dunia akademik dan realitas sosial. Ia bukan sekadar program pelengkap kurikulum, tetapi latihan konkret bagi mahasiswa untuk menjadi “agen perubahan” di tengah masyarakat.

Ketika KKN diringkas menjadi satu bulan, dan masyarakat hanya menjadi objek simbolik, maka sesungguhnya yang dikorbankan bukan hanya mutu pendidikan tetapi integritas pengabdian kampus itu sendiri.

Sudah saatnya kampus-kampus di Lampung, termasuk Unila dan UIN RIL, mengambil sikap. Apakah mereka masih ingin mendidik mahasiswa yang menyatu dengan rakyat, atau sekadar mencetak sarjana yang piawai membuat laporan, tetapi lupa caranya mendengar jeritan masyarakat kecil?

KKN bukan soal durasi. Tapi ketika waktu, tempat, dan esensi dikompromikan, maka kita harus berani bertanya, masihkah ini layak disebut “pengabdian”?

Loading

Related posts

Leave a Comment